Foto : Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. (dok/ist/net) |
Jakarta, JejakSiber.com - Putusan MK bersifat final dan mengikat. Hal itu berarti putusan MK telah memiliki kekuatan hukum tetap sejak dibacakan dalam persidangan MK. Putusan MK tersebut harus dilaksanakan terlepas dari adanya pro dan kontra. Putusan MK berlaku bagi semua orang (erga omnes). Perlu dipahami bahwa putusan MK yang menambahkan frasa pada Pasal 169 huruf q UU Pemilu, bukan hanya ditujukan kepada seorang Kepala Daerah saja, namun juga berlaku bagi semua jabatan yang dipilih melalui Pemilu. Termasuk disini bagi anggota DPR, DPD dan DPRD.
Terkait dengan berlangsungnya sidang dugaan pelanggaran kode etik hakim Konstitusi, Majelis Kehormatan MK tidak dapat membatalkan putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023. Tidak ada dasar hukum yang menyebutkan Majelis Kehormatan MK dapat membatalkan putusan Mahkamah Konstitusi. Dukungan terhadap Majelis Kehormatan MK agar membatalkan putusan tersebut menunjukkan sikap yang berlawanan dengan konstitusi. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 sudah demikian jelas dan tegas menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir dan putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Dengan demikian tidak ada upaya hukum guna membatalkan putusan MK. Oleh karena itu dipertanyakan keinginan untuk membatalkan putusan MK tersebut.
Sebagai negara hukum, maka kewajiban mentaati hukum berlaku bagi semua warga negara dan sekaligus negara harus menjamin terselenggaranya pelaksanaan hukum secara pasti dan adil. Putusan MK harus dimaknai sebagai jaminan perlindungan bukan hanya ditujukan kepada kepentingan individu, kepentingan masyarakat akan tetapi juga menyangkut kepentingan negara.
Suka atau tidak suka terhadap Putusan MK yang pada akhirnya menjadikan Gibran sebagai Cawapres dan disandingkan dengan Prabowo, demikian itu sudah sah secara hukum. Segala macam perdebatan maupun berbagai manuver seperti gagasan Hak Angket DPR tidak dapat memberikan pengaruh apa pun terhadap putusan MK.
Khusus menyangkut gagasan Hak Angket, perlu dipertanyakan. Sejatinya pelaksanaan Hak Angket menunjuk pada adanya dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan undang-undang atau kebijakan pemerintah. Pelaksanaan suatu undang-undang atau kebijakan pemerintah yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan harus diawali dengan adanya perbuatan konkrit. Disini dipertanyakan perbuatan konkrit apa yang terjadi. Seiring dengan itu, adakah hubungan sebab akibat (kausalitas) dengan adanya dampak yang demikian luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pertanyaan tersebut pernah penulis sampaikan langsung pada Masinton Pasaribu selaku pihak yang mengusulkan Hak Angket terhadap MK saat dialog di salah satu stasiun televisi, namun ternyata tidak ada kejelasan. Penjelasan yang disampaikan justru menunjukkan ketidakjelasannya. Disini terlihat semakin jelas ketidakjelasannya.
Desakan pembatalan terhadap putusan MK tentang uji materi batas usia Capres & Cawapres oleh Majelis Kehormatan MK bertentangan dengan UUD 1945. Ketika dikatakan bertentangan, maka Majelis Kehormatan terlarang membatalkan putusan MK tersebut. Putusan Majelis Kehormatan tidak sederajat dengan putusan MK, maka apakah mungkin putusan Mahkamah Kehormatan yang tidak sederajat itu dapat membatalkan putusan MK yang kewenangannya disebut dalam UUD 1945? Jawabannya tentu tidak mungkin, demikian itu menjadikan Mahkamah Kehormatan terlarang melakukannya.
Penulis : Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.
Ketua Umum Persatuan Doktor Pascasarjana Hukum Indonesia (PEDPHI)