Jakarta, JejakSiber.com – Peta partisipatif, dengan keterlibatan masyarakat sipil dalam kebijakan satu peta, perlu diakomodir sebagai peta Tata Ruang dan Kawasan Hutan (Tatakan) untuk menyelesaikan konflik agraria dan tumpang tindih pemanfaatan lahan. Peta ini perlu dimasukkan ke dalam Peta Indikatif Tumpang Tindih Informasi Geospasial Tematik (PITTI).
Selama ini, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 23 tahun 2021, tentang percepatan kebijakan satu peta dan perubahan terhadap Perpres Nomor 9 tahun 2016, dianggap hanya merupakan kompromi antara beberapa kementerian dan lembaga saja.
“Selama ini, tumpang tindih lahan menyebabkan konflik agraria dan Sumber Daya Alam (SDA) yang tidak pernah selesai,” papar Koordinator Nasional Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Imam Hanafi dalam diskusi publik yang membahas kebijakan Satu Peta tersebut, Kamis (16/2/2023), di Jakarta.
Diskusi publik tersebut juga turut mengundang Rukka Sombolinggi selaku Sekertaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Kasmita Widodo selaku Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat, dan Agung Wibowo selaku Koordinator Eksekutif Perkumpulan HuMa Indonesia.
Imam mengutip situs tanahkita.id, hingga Desember 2022, bahwa telah terjadi 491 konflik dengan luas area konflik yaitu 4,9 juta hektar dan menelan 870 ribu jiwa masyarakat adat yang menjadi korban.
Agung Wibowo, di forum diskusi publik yang sama, menambahkan bahwa kebijakan satu peta merupakan bagian dari pemenuhan hak asasi manusia. (Billy)
Editor : Js