Foto : Lahan yang dijadikan kebun sawit dan lokasi titik koordinat. (dok/Rp) |
Kuansing, JejakSiber.com - Sejauh pantauan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Solidaritas Pers Indonesia (SPI) Kabupaten Kuantan Singingi hingga Minggu (17/4/22), kegiatan yang tidak sesuai aturan seperti akrobatik HPT tanpa ada penanganan serius oleh pihak pemerintah tentang penanganan Hutan Produksi Terbatas (HPT) korporasi kebun kelapa sawit yang di sulap Koperasi beroperasi aman-aman saja di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau, tepatnya ruang lingkup Kecamatan Hulu Kuatan.
Sementara itu, Kepala Disperindagkop Kuansing Drs. Azhar, M.M. pernah mengatakan bahwa tentang PT. Marauke itu tidak terdaftar izinnya, "Akan tetapi Koperasi Produsen Guna Karya Sejahtera dan yang lain itu masih aktif di ruang lingkup Desa Kecamatan Hulu Kuantan yang masih segar di ingatan kita bahkan sudah diperkirakan luasan lahan ribuan hektar," kata Azhar pada Rabu (1/12/21) tahun lalu.
Disisi lain, masyarakat sekitar juga mengeluhkan keberadaan koperasi tersebut yang hingga saat ini dinilai tidak ada manfaat.
Pasalnya, sepengetahuan warga selama ini lahan sekitar dikuasai oleh PT. Marauke dengan mengatasnamakan koperasi ruang lingkup Desa, baik itu di Desa Serosa, Tanjung Modang, Sumpu dan yang lain masih diruang lingkup Kecamatan Hulu Kuantan.
"Awal bekerja di koperasi ini melalui tangan pemborong, di tiap Desa diminta Kartu Keluarga (KK) dikelola Koperasi setiap Desa, koperasi yang dipercayai untuk mengelola lahan melalui pemborong, kayu hasil hutan itu tidak tau kemana dan cara pengerjaannya tidak sedikit harus mengikuti aturan sebut saja PT.Marauke," ujar warga yang tidak mau namanya dipublikasikan, Minggu (17/4/22).
"Contoh, luasan lahan yang berada di ruang lingkup Koperasi yang akan dikerjakan pada tahun awal itu 300 hektar dari beberapa koperasi, pekerjaannya itu harus selesai dalam satu tahun, ini kan aneh?," pungkasnya sembari bertanya.
Masih kata warga setempat itu, "Ternyata keanehan itu mendapat jawaban agar pemborong ini merugi tidak sedikit pembukuan lahan mengalami ketekoran bukan digarap melalui anggota koperasi dan mengakui kekalahan pada aturan yang dibuat oleh PT. Marauke yang dianggap, itu mengapa?," tanya nya lagi.
"Bagi aja tiga koperasi, itu berarti 100 hektar yang dikelola Koperasi pada tahun awal, dengan luasan 100 hektar ini, apabila dikerjakan oleh alat berat, ukuran 2 bulan sudah selesai, disinilah permasalahan yang sebenarnya jadi tidak sedikit pemborong itu berakhir dengan kekecewaan atau diduga menjual garapan-garapan lahan tersebut," jelas warga itu kepada media.
Lebih lanjut warga itu memaparkan, "Karena pihak PT. Marauke membayar sesuai dengan perjanjian awal dengan rincian minimal 25 hektar selesai dalam satu bulan dari global 300 hektar, jadi lebih jelas ada kepentingan di atas kepentingan," ucap pria paruh baya itu dengan mimik wajah kecewa.
Diakhir penjelasannya, warga tersebut menambahkan, "Saat sang pemborong mulai kebingungan menutupi operasional, mulai dari biaya rental alat berat saat bekerja, mau tidak mau kesuksesan bukan lagi di tangan koperasi, tetapi oleh pihak Marauke, yang mana masyarakat sekitar sudah pasti tidak berani memperjuangkan hak-haknya," tutupnya.
Sebelumnya, Plt. Kadis Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Kabupaten Kuansing, Mardansyah mengatakan, "Sepengetahuan saya, PT. Marauke belum mengantongi izin," katanya kepada awak media ini melalui pesan WhatsApp pribadinya, Rabu (1/12/21) lalu.
Wakil Ketua Komisi IV DPR, Dedi Mulyadi mengatakan bahwa pihaknya menemukan pola baru dalam menyembunyikan kebun sawit ilegal, hal itu berdasarkan hasil penelisikan dan pantauan lapangan ke Riau, yang diduga terdapat indikasi penyulapan penguasaan kebun sawit ilegal dari korporasi ke koperasi.
"Namun modus tersebut tetap saja tak menguntungkan rakyat, sebab koperasi jadi-jadian itu hanyalah alat pengelabu yang didesain oleh korporasi perampok hutan negara," kata Dedi pada bulan Maret lalu.
Dedi menuturkan, jika nantinya Menteri turun ke lapangan, kemungkinan korporasi kebun ilegal akan berubah jadi korporasi, "Lahannya seakan-akan milik masyarakat anggota koperasi, tapi cuma nama doang," pungkasnya.
Wakil Ketua Komisi IV DPR itu meyakini bahwa pola tersebut dilakukan korporasi untuk memanfaatkan celah Undang-undang Cipta Kerja, "Dengan memecah-mecah hak kepemilikan ke orang per orang, maka korporasi bisa menghindar dari jerat pembayaran denda dan PNBP karena sudah menguasai hutan secara tidak sah," ujar Dedi. (Rp)
Editor : Js